Akhir-akhir ini beberapa media massa dan termasuk koran harian ini memuat mengenai kasus dana yang macet di Koperasi Simpan Pinjam (KSP)Bahteramas di wilayah Kabupaten Banyumas. Mulanya terjadi kasus rush atau penarikan dana oleh nasabah secara besar-besaran di koperasi ini yang dikarenakan nasabahnya sulit untuk mengambil dana mereka. Menurut informasi dari manajemen tidak sedikit yang dirugikan, menyangkut uang 8 milyard dari kurang lebih 23.000 nasabah (calon anggota)nya. Ditambah lagi 927 orang karyawan yang juga menjadi korban, tidak saja tabungan pribadi mereka, tapi juga materiel dan imateriel karena nasabah mendesak mereka untuk mendapatkan dana mereka kembali. Sebagian besar diantaranya malah ada yang sudah menggadaikan rumah, tanah dan menguras apa saja yang mereka miliki demi memenuhi tuntutan nasabah.
Kasus ini juga tersebar hampir merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Banyumas. Nasabahnya rata-rata adalah rakyat kecil seperti pedagang kaki lima, buruh kecil, petani kecil, pegawai kecil. Di tengah kesulitan hidup yang mencekik akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) habis sudah tabungan yang mereka kumpulkan bertahun-tahun sebagai salah satu social safety hidup mereka ditengah ekonomi yang tidak menentu dan jaminan sosial yang nihil dari Pemerintah. Ibarat sudah jatuh miskin tertimpa sial pula.
Penipuan berkedok koperasi memang sudah sering terjadi, dalam kasus serupa yang berskala nasional, sebut saja sebagaimana yang terjadi pada kasus Koperasi Serba Usaha Milik Bersama (KSUMB)pimpinan Haji Bustam tahun awal 2000 an itu. Modusnya hampir sama, organisasi ini mengatasnamakan koperasi dan bahkan mengantongi badan hukum koperasi dari Pemerintah, tapi dalam operasionalisasinya sama sekali jauh dari prinsip-prinsip koperasi yang seharusnya dijalankan oleh Koperasi yang “legal”. Koperasi palsu ini menjadikan Anggota (karyawan) dan nasabah (calon anggota) sebagai korbannya di kemudian hari.
Koperasi (palsu) ini menarik dana dari masyarakat dengan menjual produk investasi yang cukup menggiurkan. Janji bunga deposito atau keuntungan yang diberikan bisa sampai 5 hingga 10 kali lipat dari bunga deposito bank pada umumnya. Lebih provokatif lagi dengan memberikan bunga atau keuntungan di depan seperti pada kasus Bahteramas. Karyawannya direkrut dengan harus memberikan jaminan uang tertentu sebagai simpanan yang tidak bisa dicairkan. Mereka digaji dari uang yang mereka setor tersebut dan logikanya akan tetap dipertahankan apabila karyawan yang bersangkutan berhasil merekrut nasabah baru sebanyak-banyaknya.
Koperasi palsu model ini, awalnya terkesan aman-aman dan lancar saja, dan karena memang kepercayaan yang telah terjalin baik antara karyawan dengan nasabahnya yang biasanya masih punya kedekatan secara sosiologis, seperti hubungan famili, tetangga, teman, atau kerabat. Diperkuat dengan kepemilikan badan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka bisnis penipuan berkedok koperasi seperti ini seakan telah menjadi legal dimata masyarakat. Dikarenakan mereka yang menjadi anggota pendiri (Karyawan) dan calon anggota (nasabah) tidak tahu apa itu koperasi sesungguhnya dan fungsi serta perannya sebagai anggota, akhirnya mereka menjadi korban penipuan.
Dalam kasus-kasus demikian saya menyebutnya sebagai penipuan berkedok koperasi. Kenapa ?. Alasan pertama, secara prinsip organisasi karena menurut produk perundang-undangan yang masih berlaku di negara kita maupun secara prinsip organisasi, baik menurut versi UU No. 25 Thn 1992 maupun identitas koperasi intenasional (international co-operative identity statement-ICIS) memang tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai koperasi dan apalagi untuk diberikan badan hukum koperasi.
Alasan kedua, karena model koperasi ini sendiri memang sudah jauh dari hakekatnya sebagai lembaga ekonomi yang demokratis sebagai ciri dari koperasi. Model koperasi semacam ini biasanya juga lebih cenderung untuk mengejar legalitas hukum badan usaha atau Badan Hukum (BH) sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kepercayaan tambahan dari masyarakat calon korbanya daripada mendidik anggotanya agar lebih paham tentang hak serta kewajibanya sebagai anggota organisasi perusahaan demokratis miliknya.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatanya berdasarkan pada prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya, masih menurut UU tersebut disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 bahwa koperasi melaksanakan prinsip-prinsip keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, dan kemandirian. Ayat 2 dalam pasal ini juga menjelaskan tentang prinsip pengembangan koperasi yang menyebutkan harus melaksanakan pula prinsip pendidikan perkoperasian dan penekanan kerjasama antar koperasi. Sementara menurut prinsip koperasi secara Internasional ada 7, yaitu ; keanggotaan sukarela dan terbuka, pengawasan secara demokratis oleh anggota, otonomi dan kemandirian, pendidikan-pelatihan-penerangan, kerjasama antar koperasi dan kepedulian terhadap komunitas (lingkungan).
Mencermati kasus yang terjadi pada KSP Bahteramas dan mengacu pada prinsip-prinsip koperasi menurut versi UU No. 25 Tahun 1992 maupun ICIS yang ditetapkan dan berlaku bagi semua anggota koperasi di seluruh dunia, jelas bahwa Bahteramas tidak layak disebut sebagai koperasi karena tak satupun prinsip-prinsip yang disebutkan dijalankan. Anggota (karyawan) dan calon anggota (nasabah)nya tidak tahu apa itu koperasi yang sesungguhnya dan peran serta fungsi mereka sebagai anggota yang seharusnya menjadi pemilik, pengguna jasa dan sekaligus pengawas dari koperasinya. Prinsip sukarela yang berarti dilandasi kesadaran dari anggotanya dalam berkoperasi juga tidak terjadi, anggota (karyawan) dan nasabah (calon anggota) tidak paham apa itu koperasi, dan bagaimana berkoperasi yang benar. Hanya dikarenakan iming-iming return investasi yang menggiurkan, mereka bebondong-bondong menginvestasikan dananya di KSP Bahteramas.
Di tinjau dari segi pengelolaannya, Bahteramas juga tidak menunjukan sebagai model koperasi yang seharusnya anggota memegang peran sentral dalam koperasi. Bahteramas yang posisi manajemennya berada dalam kendali mutlak Ketua atau Direkturnya yang sekaligus sebagai salah satu pendiri jelas sudah keluar dari prinsip pengelolaan demokratis dari koperasi. Di tambah lagi apalagi kalau memang benar diduga penandatanganan dalam akta pendirian koperasi oleh para pendiri-pendirinya adalah palsu, maka hal ini sudah menyangkut tindak kriminal, dimana apabila hal ini melibatkan Dinas Koperasi dan UKM sebagai pemberi badan hukum maka sudah barang tentu ini merupakan tindakan yang memiliki sanksi hukum yang jelas disamping sanksi bagi turut melegalkanya koperasi palsu yang merugikan masyarakat banyak ini.
Untuk menjelaskan substansi permasalahan yang ada, maka bersama ini saya sampaikan bahwa koperasi yang benar secara organisasional setidak-tidaknya dalam proses pendirian harus memenuhi syarat-syarat menimal sebagai berikut ; Pertama, ada Rapat Anggota (Rapat Pendirian) yang ditujukan bagi perumusan visi dan tujuan bersama tentang manfaat pendirian koperasi dan rencana usaha-usaha koperasi oleh para pendiri-pendirinya yang menurut UU yang berlaku minimal oleh 20 orang anggotanya yang kemudian dituangkan dalam bentuk penandatangan berita acara rapat pendirian. Rapat ini seharusnya juga sudah mencerminkan proses demokrasi dan bukan melulu masalah teknis mekanisme legal formal semata.
Kedua, ada perangkat struktur organisasi yang jelas. Dalam organisasi koperasi kita mengenal adanya forum yang memiliki kekuasaan tertinggi yaitu Rapat Anggota (RA). Dimana dalam RA diangkat Dewan Pendiri (dalam pendirian) dan atau Dewan Pengurus sebagai pelaksana amanah anggota yang menjalankan roda organisasi sesuai dengan hasil-hasil keputusan RA yang biasanya terdiri dari Anggaran Pendapatan dan Biaya, kebijakan-kebijakan umum perusahaan dan organisasi yang kemudian hasil pelaksanaanya akan dipertanggungjawabkanya dalam forum Rapat Anggota Tahunan (RAT) oleh Dewan Pengurus.
Prasyarat struktur kedua adalah Badan Pengawas yang fungsinya adalah merepresentasikan anggota yang diangkat oleh anggota melalui RA yang berfungsi untuk mengawasi jalannya organisasi dan perusahaan yang dijalankan oleh Dewan Pengurus. Badan ini juga yang berfungsi sebagai internal kontrol organisasi dan perusahaan dan kemudian mempertanggungjawabkan hasil-hasil kerjanya kepada anggota melalui mekanisme RAT.
Prasyarat struktur ketiga adalah adanya aturan main organisasi yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), peraturan-peraturan khusus organisasi dan tentu peraturan-peraturan yang mengikat yang dibuat oleh Pemerintah. Sehingga dalam hal ini, apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati bersama dan atau peraturan pemerintah yang mengikat maka jelas disebut sebagai tindakan pelanggaran organisasi yang mekanisme sanksi dan penyelesaianya diatur dalam AD/ART dan peraturan pemerintah yang mengikat.
Dalam kasus yang terjadi di Bahteramas adalah posisi pengurus dan anggotanya tidak jelas. Sehingga Pengurus (yang difiktifkan) tidak ada yang merasa harus bertanggungjawab terhadap dana nasabah (calon anggota)nya karena mereka yang disebut Pengurus ternyata kecuali ketuanya posisinya apabila dugaanya benar adalah fiktif dalam akta pendirianya. Mekanisme organisasi juga ternyata tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Aturan main mutlak ada ditangan ketuanya saja. Tidak ada Badan Pengawas atau Pemeriksanya. Parahnya lagi, ternyata mereka yang disebut sebagai anggotanya tidak jelas dan yang ada adalah hanyalah nasabah atau calon anggota yang posisinya sekarang adalah sebagai korban penipuan. Secara organisasional hal ini jelas jauh dari aturan main organisasi koperasi. Sehingga proses penyelesaian melalui Rapat Anggota Luar Biasa (RALB) yang disarankan pemerintah baru-baru ini tentu sangat tidak relevan.
Kesimpulanya, mengingat bahwa kasus yang menimpa pada Bahteramas posisi Pengurus (apabila memang benar) nama-namaya dipalsukan oleh ketuanya yaitu saudara Dian Radite alias Dany Iskandardinata, maka sudah pasti akan kesulitan untuk diadakan Rapat Anggota. Penyelesaian melalui jalur mekanisme organisasi yang seharusnya melalui Rapat Anggota sebagaimana yang seharusnya terjadi pada koperasi legal tidak mungkin bisa dilaksanakan, karenanya tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah ini kecuali dalam hal ini adalah Pemerintah atau Dinas Koperasi dan UKM. Mereka, nasabah (calon anggota), karyawan, dan Pengurus yang dipalsukan (kalau benar) adalah korban penipuan Dian Radite.
Menyikapi hal ini, Pemerintah sebaiknya segera mengambil inisiatif untuk membentuk Tim Penyelesai yang tentu juga sudah menjadi tanggungjawab Pemerintah sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 1992 pasal 47 dan juga Peraturan Pemerintah (PP) No.17 Tahun 1994. Setidaknya untuk menunjukan bentuk tanggungjawab dari fungsi “pembinaan” dan sebagai pihak yang memberi izin usaha atau badan hukum koperasi karena posisi koperasi ini palsu. Berikut karena kasus ini telah merugikan masyarakat dan diduga ada unsur pemalsuan tanda tangannya, maka sebaiknya pihak kepolisian juga segera saja mengambil tindakan melakukan verifikasi kebenaranya dan untuk menghadirkan saudara Dian Radite untuk menjelaskan semuanya kepada publik.
Belajar dari kasus Bahteramas, maka kepada masyarakat sekali lagi perlu hati-hati dalam berinvestasi yang ditawarkan dengan iming-iming yang menggiurkan. Dalam hal ini bukan berarti harus antipati terhadap koperasi, tapi setidaknya kalau ingin menginvestasikan sesuatu perlu dipahami dahulu. Kalaupun mengatasnamakan koperasi, yang perlu diketahui adalah bahwa apa itu koperasi yang benar yang bukan begitu saja percaya dengan legalitas badan usaha yang mereka miliki. Lebih penting lagi adalah bahwa koperasi itu milik anggota. Di tangan anggota juga ditentukan siapa yang akan menjalankan koperasi, mengawasinya dengan mengetahui bagaimana kondisi organisasi dan keuangan koperasi yang sedang berjalan atau akan dimasuki. Setidaknya agar tidak tertipu lagi oleh model koperasi palsu atau quasi koperasi.
Soko guru sebagai legitimasi
Mungkin kita semua pernah mendengar atau malahan ikut latah menyebut koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia. Istilah yang dipopulerkan rezim orde baru itu langsung membius seperti halnya jargon “ekonomi kerakyatan” saat ini. Diamini para pakar ekonomi, aparat pemerintah sampai di daerah-daerah dan tentu mereka yang mengatasnamakan kepentingan rakyat kecil aktif mengkampanyekan di ruang-ruang diskusi formal, obrolan di kampung-kampung hingga kampanye Pemilu.
Siapa yang tidak setuju dengan istilah ini. Bagaimana mungkin rakyat kecil yang gandrung demokrasi menolak kalau koperasi, bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi itu dijadikan sebagai soko guru ekonomi?. Tentu tidak ada yang berani menolak. Konglomerat sekalipun tidak berani menolak langsung walaupun istana bisnis mereka akan terancam bilamana ekonomi rakyat atau koperasi besar. Mereka bahkan sempat membuat persekutuan untuk program charity yang terkenal dengan sebutan Kelompok Jimbaran yang intinya berperilaku selayaknya sinterklas ingin mensedekah dari sedikit keuntungan mereka yang konon realisasinya tidak lebih dari 1 persen itu.
Koperasi sebagai Soko Guru Ekonomi telah menjadi justifikasi bagi proses “pembinaan” koperasi. Agar koperasi bisa menjadi soko guru, ditambah alasan sebagai pelaksanaan amanat konstitusi, pemerintah membentuk Departemen dan atau kantor kementrian yang menangani koperasi dari Pusat hingga di daerah-daerah dengan jumlah karyawan hingga ratusan ribu. Lengkap dengan perangkat perundang-undanganya yang mengatur lebih banyak intervensi pemerintah hingga fungsi-fungsi teknis. Jurusnya cuma satu, demi mengangkat koperasi agar menajdi soko guru ekonomi maka koperasi perlu “dibina”. Disusunlah segera strategi proyek “pembinaan”dan dijadikan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai mitra “wadah tunggal” binaan satu-satunya. Koperasi dijadikan obyek dan tak lebih hanya sebagai delivery tool, tanpa diberikan waktu untuk sekadar berfikir untuk mengambil prakarsa bagi kepentingan keberlanjutan usaha-usaha untuk mandiri.
Koperasi sebagai Soko Guru Ekonomi telah menjadi justifikasi bagi proses “pembinaan” koperasi. Agar koperasi bisa menjadi soko guru, ditambah alasan sebagai pelaksanaan amanat konstitusi, pemerintah membentuk Departemen dan atau kantor kementrian yang menangani koperasi dari Pusat hingga di daerah-daerah dengan jumlah karyawan hingga ratusan ribu. Lengkap dengan perangkat perundang-undanganya yang mengatur lebih banyak intervensi pemerintah hingga fungsi-fungsi teknis. Jurusnya cuma satu, demi mengangkat koperasi agar menajdi soko guru ekonomi maka koperasi perlu “dibina”. Disusunlah segera strategi proyek “pembinaan”dan dijadikan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai mitra “wadah tunggal” binaan satu-satunya. Koperasi dijadikan obyek dan tak lebih hanya sebagai delivery tool, tanpa diberikan waktu untuk sekadar berfikir untuk mengambil prakarsa bagi kepentingan keberlanjutan usaha-usaha untuk mandiri.
Di era otonomi daerah saat ini, memang ada beragam respon pemerintah di daerah dalam melihat kondisi koperasi yang ada. Ada yang over shympati dengan membentuk Dinas koperasi tersendiri dengan alasan untuk melakukan pembinaan bagi koperasi untuk pencapaian strategi program pembangunan. Kemudian ada yang tetap memperhatikan koperasi namun porsinya diperkecil dengan menyatukanya biasanya dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian dengan filosofi koperasi itu dilihatnya sebagai melulu urusan dagang.
Sementara itu, walaupun sudah tidak sekuat di masa orde baru, intervensi pemerintah pusat juga masih cukup dirasakan terutama dalam bentuk penyaluran-penyaluran dana. Program-program bombastis yang berorientasi proyek masih saja melekat pada Kementrian Koperasi dan UKM. Seperti program satu milyard untuk seribu koperasi, penyalur dana kompensasi BBM, dan program lainya yang coba dihubungkan dengan gempita tahun micro finance 2005 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Pada prinsipnya, reformasi boleh terjadi tapi koperasi tetap dengan paradigma lama. Hal ini juga terlihat pada tuntutan untuk tetap dapat melaksanakan fungsi teknis oleh orang-orang Kementrian Negara Koperasi dan UKM pada Perpres No. 5 Tahun 2005 yang mengatur tentang keweangan kementrian. Padahal kita semua tahu, sudah berapa trilyun rupiah uang negara dihambur-hamburkan tapi kenyataanya koperasi dan usaha kecil juga masih tetap tak berubah nasibnya. Selain hanya menjadi pemborosan anggaran negara, program ini hanya akan melipat gandakan ketergantugan bagi koperasi dan menjadikan koperasi hanya sebagai sub-ordinat dari kepentingan kapitalisme.
Popularitas pemerintah siapapun memang akan selalu melambung seiring berbagai bentuk dukungan proyek pembinaan ataupun kucuran-kucuran dana berupa hibah, kompensasi, atau bentuk soft loan kepada koperasi atau usaha kecil. Masyarakatpun biasanya menyambut dengan girang ditandai dengan munculnya banyak koperasi fiktif dan proposal ini dan itu. Seperti jamur dimusim hujan, koperasi-koperasi biasanya juga bermunculan dan secara kuantitatif menunjukan angka yang cukup mengesankan walaupun biasanya akan segera mati suri. Sulit ditemui sebuah koperasi yang memiliki visi kemandirian yang kuat, sumberdaya dan kapasitas organisasi yang memadai dan juga jaringan yang kuat. Pola ketergantungan yang akut dan sulit dalam proses perubahan mindset nya.
Etalase toko di pojok-pojok perkantoran itu juga masih tetap seperti itu, melulu menjual barang-barang itu, seakan selera dianggap tak pernah berubah. Unit-unit simpan pinjam itu juga masih seperti itu, tergantung pada pihak ketiga, entah itu dari orang perorangan maupun pihak perbankan(Bank Umum). Masih sangat jauh dari arti kemandirian, bahkan untuk sekadar menjalankan makna solidaritas. Dimana anggota yang kelebihan dana dimaksudkan untuk menabung demi menolong mereka anggota koperasi yang sedang dalam kekurangan dana. Sebuah prinsip koperasi yang sebetulnya juga harus dijalankan oleh Perbankan pada umumnya sebagai fungsinya sebagai lembaga intermediasi, menyalurkan dana dari mereka yang kelebihan kepada yang kekurangan.
Kebanyakan koperasi-koperasi kita saat ini, masih saja selalu merintih kepada pemerintah meminta bantuan ini, sumbangan itu dan kompensasi ini dan itu. Hal ini juga terlihat dari kondisi organisasinya di tingkat nasional, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang di klaim anggotanya hingga 27 juta orang itu juga masih mengandalkan kucuran bantuan dari APBN yang jumlahnya tidak lebih dari 50 milyard itu dan APBD bagi koperasi-koperasi di daerah. Koperasi yang awal mulanya berangkat dari suatu semangat kemandirian dan ingin melepas ketergantungan terhadap sistem kapitalisme itu justru menunjukan ketergantungan yang berlebihan. Jauh semangat self-help atau self rialiance itu dari kenyataanya.
Untuk itu mari kita jadikan bahan refleksi bersama, agar kita dapat kembalikan koperasi pada khitohnya, sebagai gerakan perubahan sosial dari masyarakat yang kapitalistik menjadi lebih berkeadilan!. Sebab apa? Sebab musuhnya juga masih sama kalau dimasa orde baru kapitalisme itu membawa kuasa sekarang dia datang membawa uang!
0 komentar:
Posting Komentar