Secara
ringkas, silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya
adalah proposisi hipotesis atau proposisi majemuk, dan premis minornya
mengakui atau menolak salah satu bagian dari premi mayor. Perhatikanlah
contoh berikut.
Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan turun.
Jadi, jalan basah.
Premis
mayor pada argumen di atas adalah “Jika hujan turun, tentu jalan basah”
yang merupakan proposisi hipotesis. Proposisi ini terdiri atas dua
bagian, yang jika ditelaah ternyata merupakan gabungan dua buah
proposisi kategoris, yaitu (1) “hujan turun” dan (2) “jalan basah”, yang
digabungkan dengan kata penghubung kondisional “jika”. Premis minornya
mengakui bagian pertama. Kesimpulan ditarik dengan jalan
membanding-bandingkan bagian-bagian dari premis mayor. Dalam contoh di
atas, karena premis mengakui bagian awal, maka kesimpulannya juga harus
mengakui bagian kedua.
Jelaslah,
ini berbeda dengan silogisme kategoris. Dalam silogisme kategoris,
dasarnya ialah proposisi kategoris yang terdiri atas term S dan P yang
masing-masing menunjukkan kelas subjek dan kelas predikat. Kesimpulan
ditarik dengan jalan membanding-bandingkan keanggotaan kelas S dan P,
dengan bantuan kelas M untuk mengetahui apakah anggota kelas M termasuk
kelas S dan apakah anggota kelas M termasuk kelas P atau tidak. Karena
didasarkan atas perbandingan kelas, silogisme kategoris diebut juga
logika kelas (class logic).
Berbeda
dengan itu, silogisme hipotesis didasarkan atas bagian-bagian dari
proposisi premis mayor yang berupa proposisi kondisional atau majemuk.
Seperti terlihat pada contoh di atas, dalam silogisme hipotesis
kesimpulan tidak ditarik dengan membandingkan term-term, melainkan
dengan membandingkan proposisi-proposisi kategorik yang menjadi
komponennya serta hubungan yang terdapat di antara keduanya. Ini
mempengaruhi cara penulisan bentuk logis penalaran. Jika pada silogisme
kategoris digunakan huruf-huruf S-M-P yang melambangkan kelas-kelas,
maka pada silogisme hipotesis digunakan huruf-huruf p dan q
yang masing-masing melambangkan posisi elementer (proposisi yang tidak
terusun atas proposisi-proposisi lain yang lebih kecil). Demikianlah,
premis mayor pada penalaran di atas, “Jika hujan turun, jalan basah”
ditulis bentuk logisnya menjadi “Jika p maka q. Jadi proposisi elementer “hujan turun” dilambangkan dengan p, sedangkan “jalan basah” dengan q. Karena yang menentukan bukan kelas, melainkan proposisi, maka silogisme hipotesis disebut juga logika proposional (propotionla logic).
Contoh
yang diberikan di atas sebenarnya baru mewakili salah satu dari
silogisme hipotesis, yaitu silogime hipotesis kondisional atau sering
juga disebut silogisme hipotesis saja. Selain silogisme komdisional,
masih ada dua macam lagi, yaitu silogisme hipotesis disjungtif (sering
disingkat silogisme dijungtif), dan silogisme hipotesis konjungtif
(sering disingkat silogisme konjungtif).
Silogisme Kondisional
Silogisme kondisional adalah
silogisme yang premis mayornya berupa proposisi kondisional, yaitu
proposisi yang berbentuk “jika...(maka)” dan premis minornya mengakui
atau menolak salah satu bagian dari premi mayor terebut. Seperti dikatak
di atas, proposisi kondisional terdiri dari dua bagian. Bagian pertama
mengandung pengertian sebagai syarat, dan bagian kedua mengandung pengertian sebagai yang-disyaratkan. Secara teknis, bagian pertama disebut antesedens, sedangkan bagian kedua disebut konsekuens.
Pada proposisi kondisional “Jika hujan turun, maka jalan basah”,
antesedensnya adalah “hujan turun” sedangkan konsekuensnya adalah “jalan
basah”. Masing-masing adalah proposisi kategoris yang dihubungkan
dengan kata penghubung kondisional “jika” yang menghubungkan kedua
proposisi tunggal tersebut menjadi satu proposisi majemuk. Untuk
menelaah silogisme kondisional secara mendalam, perhatikan contoh yang
diberikan berikut ini.
(1) Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan turun.
Jadi, jalan basah.
Mari
kita tambahkan lagi argumen lain dengan menggunakan premis mayor yang
sama namun dengan mengubah premis minornya seperti berikut ini.
(2) Jika hujan turun, jalan basah.
Jalan tidak basah.
Jadi, hujan tidak turun.
Perhatikanlah
premis mayor dari penalaran pada kedua argumen di atas, yaitu proposisi
“Jika hujan turun, jalan basah.” Proposisi ini menyatakan bahwa
turunnya hujan merupakan kondisi (syarat atau sebab) yang “mengharuskan”
basahnya jalan. Jadi, kalau hujan turun, tentu jalan basah; dan jika
jalan tidak basah, tentu hujan tidak turun. Dengan demikian, jika kita
tahu bahwa memang hujan turun, yakinlah kita bahwa pastilah jalan basah;
dan jika kita tahu bahwa jalan tidak basah, yakinlah kita bahwa hujan
tidak turun. Dalam rumusan yang abstrak; jika antesedens diakui
(benar/terjadi), harus diakui (benar/terjadi) pula konsekuens; dan jika
konsekuen ditolak (tidak terjadi), harus ditolak (tidak terjadi) pula
antesedens.
Namun
perlu diperhatikan, proposisi di atas tidak menyatakan bahwa turunnya
hujan adalah satu-satunya syarat/sebab bagi basahnya jalan. Jadi, kalau
jalan basah, tidak otomatis berarti bahwa turunnya hujanlah
penyebabnya-bisa saja jalan basah oleh karena sebab-sebab yang lain,
misalnya ada bendungan yang bobol. Demikian pula, kalau hujan tidak
turun, tidak otomatis berarti bahwa jalan tidak basah-karena bisa saja
ada sebab lain yang membuat jalan basah. Dengan demikian, walaupun kita
memang tahu bahwa jalan basah, kita tidak punya kepastian apakah hujan
turun ataukah tidak. Demikian pula, walaupun kita tahu bahwa hujan tidak
turun, kita tidak punya kepastian bahwa jalan tidak basah. Dirumuskan
secara lebih konsekuens terjadi (diakui), tidak ada kepastian apakah
antesedens juga tidak terjadi (tidak diakui); demikikan pula, jika
anteseden tidak terjadi (ditolak) tidak ada kepastian apakah konsekuens
terjadi (diakui) ataukah tidak.
Penjelasan
di atas penting dipahami agar kita tidak keliru mengambil kesimpulan
dalam silogisme hipotesis dan sekaligus tidak terkecoh oleh kesimpulan
yang keliru. Mari kita teliti, apakah kesimpulan pada kedua argumen di
atas sudah benar? Sebelum meneliti kesimpulannya, kita harus meneliti
dulu premis minornya. Premsi minor pada argumen (1) mengakui antesedens,
yaitu “Hujan turun”. Nah, sesuai dengan pengertian sebab/kondisi di
atas, maka kesimpulannya juga harus mengakui konsekuens, yaitu “Jalan
basah.”. dengan demikian, kesimpulan dari argumen (1) di atas adalah
benar. Jadi, argumen di atas adalah valid/sahih. Pada argumen kedua,
premis minornya menolak konsekuen. Argumen (2) juga sahih, karena pada
premis minor konsekuens ditolak dan sesuai dengan itu ditolak pula
antesedens. Kedua argumen valid ini masing-masing diberi nama modus ponens (cara mengakui) dan modus tollens (cara menolak). Secara skematis, bentuk logis dari silogisme hipotesis yang benar adalah sebagai berikut.
Jika p, maka q.
p. QUOTE Modus Ponens:
Maka, q.
dan:
Jika non-q, maka non-p.
Non-q. QUOTE Modus Tollens:
Maka, non-p.
Bandingkanlah
argumen di atas dengan argumen lain yang mirip, tetapi tidak valid.
Agar mudah, kita gunakan premis mayor yang sama dengan argumen di atas,
namun dengan premis minor yang berbeda, yaitu:
(3) Jika hujan turun, jalan basah.
Jalan basah.
Jadi, hujan turun.
Mari
kita tambahkan lagi argumen lain dengan menggunakan premis payor yang
sama namun dengan mengubah premis minornya seperti berikut ini.
(4) Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan tidak turun.
Jadi, jalan tidak basah.
Berbeda
dengan dua argumen sebelumnya, pada argumen (3) di atas premis minornya
tidak mengakui anteseden, melainkan mengakui konsekuens yaitu “jalan
basah”. Penalaran ini adalah keliru karena, seperti sudah dikatakan di
atas, dengan mengakui konsekuens kita tidak otomatis dapat mengakui
anteseden. Demikian pula dengan argumen (4); premis minornya tidak
menolak konsekuens, melainkan menolak anteseden, yaitu “hujan tidak
turun”. Penalaran ini juga keliru, karena dengan menolak anteseden kita
tidak otomatis menolak konsekuens juga. Kedua kekeliruan ini sangat
terkenal dan masing-masing diberi nama kesalahan karena mengakui konsekuens (the fallacy of affirming the concequence) dan kesalahan karena menolak antesedens (the fallacy of denying the antecedent). Secara skematis, bentuk logis dari silogisme hipotesis yang benar adalah sebagai berikut.
Jika p maka q.
q. QUOTE The fallacy of affiming the concequence
Maka, p.
dan:
Jika non-q, maka non-p.
Non-p. QUOTE The fallacy of denying the antecedent
Maka, non-q.
Untuk memahami uraian di atas, perlulah kita mengerti perbedaan antara syarat yang mencukupi (susfficient condition) dan syarat yang niscaya ( necessary condition).
Pada proposisi hipotesis “Jika tikus dalam bejana itu hidup (H), tentu
masih ada oksigen di dalam bejana itu (O)” (“Jika H, maka O”) menyatakan
bahwa H adalah syarat yang mencukupi bagi O. Jadi, jika Anda masih
melihat tikus itu masih hidup dan menyepak-nyepak, maka itu sudah cukup
bagi Anda untuk menyimpilkan bahwa dalam bejana itu masih ada oksigen.
Proposisi “Jika H, maka O” adalah ekuivalen dengan proposisi “O adalah
syarat yang niscaya bagi H”
Kaidah atau hukum silogisme kondisional dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut.
1) Apabila
anteseden diakui pada premis minor, konsekuens harus juga diakui pada
kesimpulan. Namun, jika konsekuens diakui pada premis minor maka tidak
dapat diambil kesimpulan, dan penalaran menjadi tidak sah.
2) Apabila
konsekuen ditolak pada premis minor, maka anteseden harus juga ditolak
pada kesimpulan. Namun, jika anteseden ditolak pada premis minor, tidak
dapat diambil kesimpulan dan penalaran menjadi tidak sah.
Perhatikan
bahwa apa yang terkandung dalam konsekuens sudah terkandung dalam
anteseden, sehingga konsekuens merupakan implikasi dari anteseden. Oleh
karena itu, penghubung (perakit) yang menghubungkan keduanya disebut
perakit implikasi. Ada empat jenis implikasi:
1) Implikasi logis, contoh:
Kalau semua dapat khilaf, Adam pun dapat khilaf.
2) Implikasi definisional, contoh:
Kalau Hawa seorang janda, maka ia pernah menikah.
(Sesuai dengan definisi janda yang dipakai.)
3) Implikasi empirik atau kausal, contoh:
Kalau suhu udara turun sampai 0 derajat C, maka air membeku.
4) Implikasi intensional atau desisional, contoh:
Kalau aku kau tinggalkan, aku akan bunuh diri.
(kata seorang jejaka pada kekasihnya; implikasi ini sesuai dengan niat atau keputusan si jejaka.)
Keempat implikasi di atas memiliki arti yang sama, yaitu: kalau anteseden benar, kongklusi juga benar.
Silogisme Disjungtif
Silogisme
disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi yang
berbentuk “Atau...atau”. proposisi disjungtif adalah proposisi yang
predikatnya dinyatakan tentang suatu subjek atau subjek yang lain, atau
predikat atau predikat lain dinyatakan tentang suatu subjek. Jadi,
bentuk logisnya dapat berupa “Apakah A ataukah B adalah C.” Yang lebih
kompleks, akan berupa dua proposisi kategoris sebagai alternatifnya.
Jadi bentuk logisnya adalah “Apakah A adalah B, ataukah C adalah D.”
Proposisi disjungtif mengemukakan adanya dua alternatif (pilihan)
kemungkinan, atau disjung. Silogisme disjumgtif mengambil salah satu
dari proposisi disjungtif di atas sebagai premis mayornya. Premis
minornya menolak salah satu alternatif yang lain. Contoh.
Kamu atau aku harus pergi.
Kamu tidak pergi.
Jadi, aku harus pergi.
Silogisme
ini dapat dikembalikan kepada silogisme kondisional menjadi: “Apabila
kamu tidak pergi, sayalah yang pergi.” Kamu tidak pergi. Jadi: Saya
harus pergi.
Contoh lain adalah sebagai berikut.
Apakah Tuhan tak adil ataukah tak ada manusia adalah makhluk terkutuk.
Tuhan tidaklah tak adil.
Jadi: Tak satu pun manusia makhluk terkutuk.
Kadang-kadang
kedua alternatif dimaksudkan untuk saling menngeksklusifkan. Jadi jika
yang satu benar, yang lain salah. Dalam hal ini, silogisme disjungtif
yang sahih dapat disusun dengan mengakui salah satu alternatif pada
premis minor dan pada kesimpulan menolak alternatif yang lain. Contoh:
Ataukah Bacon ataukah Shakespeare adalah pengarang Hamlet.
Shakespeare adalah pengarang Hamlet.
Jadi, Bacon bukanlah pengarang Hamlet.
Agar
silogisme disjungtif menghasilkan kesimpulan yang benar, ada dua kaidah
pokok yang harus diperhatikan. Pertama, premis mayor hendaknya
menggunakan bagian-bagian proposisi yang saling mengeksklusifkan,
sehingga berkontradiksi atu sama lain. Kalau tidak demikian, ada
kemungkinan penalaran menjadi tidak sahih, misalnya:
Ataukah dia itu penyanyi ataukah penari.
Dia itu penyanyi.
Jadi, Dia itu bukan penari.
Premis mayor pada argumen di atas dapat diubah menjadi saling mengeksklusifkan, misalnya:
Ataukah dia itu penyanyi ataukah bukan penyanyi.
Ada
ahli logika yang menginginkan agar premis mayor secara eksplisit
mengatakan bahwa “Ataukah A ataukah B, namun bukan keduanya”. Dengan
demikian, perbaikan argumen tadi adalah:
Ataukah dia itu penyanyi ataukah penari, tapi tidak keduanya sekaligus.
Dia itu penyanyi.
Jadi: Dia itu penari.
Yang
kedua, untuk menghindari ketidaksahihan, pastikanlah bahwa premis mayor
memasukkan semua kemungkinan ke dalam kedua pilihannya. Kalau tidak
demikian, ada kemungkinan penalaran menjadi tidak sahih, misalnya:
Ataukah saya bertahan sebagai presiden ataukah Indonesia terkeping oleh disintegrasi.
Saya bertahan sebagai presiden.
Jadi: Indonesia tidak terkeping oleh disintegrasi.
Penalaran
pada argumen tersebut jelas keliru, karena bertahannya “saya” sebagai
presiden hanyalah salah satu penyebab untuk menghindari kemungkinan
terkepingnya integrasi Indonesia; bisa saja “saya” bertahan dan
Indonesia tetap terkoyak oleh disintegrasi.
Silogisme Konjungtif
Silogisme
konjungtif adalah silogisme yang premis mayornya terdiri atas proposisi
konjungtif (bentuk”...dan...). Di sini berlaku peraturan: Akuilah satu
bagian pada premis minor, dan tolaklah yang lain pada kesimpulan.
Contoh:
Tak ada orang yang tidur dan membaca pada waktu yang sama.
Sartono tidur.
Jadi: Sartono tidak membaca.
Dilemma
Dilemma
merupakan silogisme campuran, yakni premisnya berupa gabungan antara
proposisi disjungtif dan hipotesis. Proposisi hipotesis mengajukan
alternatif, yang masing-masingnya membawa kepada kesimpulan, yang
seringkali tidak menyenangkan. Dilemma dapat dibedakan menjadi dilemma
sederhana dan kompleks. Disebut dilema sederhana jika kesimpulan dari
kedua alternatif itu sama; dan disebut dilemma kompleks apabila
kesimpulan tersebut berbeda. Selain itu, dilema juga dapat bersifat
konstruktif atau destruktif. Disebut konstruktif jika anteseden dari
proposisi hipotesis diakui pada premis minor dan konsekuensnya juga
diakui sebagai kesimpulan. Disebut dilema destruktif jika konsekuensnya
ditolak, pada kesimpulan antesedennya juga ditolak. Berikut ini adalah
contoh-contoh dilema yang diungkapkan dalam bahasa sehari-hari.
· Dilemma konstruktif sederhana:
Jika
suatu ilmu mengungkapkan fakta yang berharga, maka ilmu tersebut
berguna untuk dialami; dan jika penelaahan terhadap ilmu tersebut
meningkatkan daya penalaran, maka ia berharga untuk dialami. Nah, suatu
ilmu itu dapat memberikan fakta yang berharga, atau dapat juga
penelaahannya memberikan peningkatan daya penalaran. Oleh karena itu,
ilmu tersebut berharga untuk dialami.
· Dilemma konstruktif kompleks:
Kalau
ada sensor pers, maka penyalahgunaan kekuasaan akan tersembunyi; dan
jika tidak ada sensor, maka kebenaran akan dikorbankan demi sensasi.
Namun, apakah harus ada sensor atau tidak. Oleh karena itu, apakah
penyalahgunaan kekuasaan akan tersembunyi, atau kebenaran akan
dikorbankan demi sensasi.
· Contoh dilemma destruktif
Seandainya
orang ini bijaksana, tentu ia tidak akan berbicara tidak sopan tentang
Kitab Suci; dan seandainya ia baik, tentu ia tidak akan melakukannya
sungguh-sungguh. Namun ia melakukannya apakah secara seloroh ataukah
sungguh-sungguh. Oleh karena itu, apakah ia bijaksana ataukah tidak baiksumber : http://sefyan.blogspot.com/2011/06/silogisme-hipotesis.html
0 komentar:
Posting Komentar