Minggu, 24 Maret 2013

Berpikir induktif

Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 444 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Metode berpikir induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang kusus dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai benyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit di Kabupaten paser, lantas bagaimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan wawancara terhadap seluruh petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Paser. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit tersebut di Kabupaten Paser, tetapi kegiatan ini tentu saja akan menghadapkan kita kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L. Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996 : 91-92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut :
1. Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus.
Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2. Langkah kedua adalah perumusan hipotesis.
Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai dengan dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus kajian.
3. Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi.
Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
4. Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi.
Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi adalah oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Contoh lain dari argument metode beepikir induktif adalah:
1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
5.
6. Setiap kuda punya sebuah jantung
Dari berbagai peryataan kemudian di tarik kesimpulan secara umun itulah merupakan metode berpikir secara induktif ( khusus ke umum) jadi dalam berpikir induktif dari cakupan yang kevil kemudian di jabarkanmenjadi kesimpulan secara umum.
Bentuk-bentuk Penalaran Induktif
a. Generalisasi : Proses penalaran yang mengandalkan beberapa pernyataan yang mempunyai sifat tertentu untuk mendapatkan simpulan yang bersifat umum.
Contoh generalisasi :
1)Jika dipanaskan, besi memuai.
Jika dipanaskan, tembaga memuai.
Jika dipanaskan, emas memuai.
Jika dipanaskan, platina memuai
Jadi, jika dipanaskan, logam memuai.
2)Jika ada udara, manusia akan hidup.
Jika ada udara, hewan akan hidup.
Jika ada udara, tumbuhan akan hidup.
Jadi, jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.
b. Hipotesis dan Teori
Hipotesis à proposisi yg masih perlu diuji
Teori à proposisi yg telah teruji.
Contoh :
Ø Semua kucing yang bermata biru adalah tuli (Darwin dalam ilmu biologi)
Ø Tidak ada hewan yang bertanduk dan berkuku telapak adalah pemakan daging
Ø Anak kecil yang pernah terluka jari-jarinya karena bermain-main dengan pisau akan berhati-hati bila di saat lain dia menggunakan pisau
Ø Ilmu ilmu kealaman semuanya disusun berdasarkan generalisasi tidak sempurna, demikian pula ilmu sosial
c. Analogi : Cara penarikan penalaran dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama.
Contoh analogi
Nina adalah lulusan Akademi Amanah.
Nina dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Ali adalah lulusan Akademi Amanah.
Oleh Sebab itu, Ali dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
d. Hubungan kausal : penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan.
Macam hubungan kausal :
1. Sebab- akibat.
Yaitu dimulai dengan mengemukakan fakta yang menjadi sebab dan sampai kepada kesimpulan yang menjadi akibat. Pada pola sebab ke akibat sebagai gagasan pokok adalah akibat, sedangkan sebab merupakan gagasan penjelas.
“Hujan turun di daerah itu mengakibatkan timbulnya banjir.”
2. Akibat – Sebab.
Yaitu dimulai dengan fakta yang menjadi akibat, kemudian dari fakta itu dianalisis untuk mencari sebabnya.
“Andika tidak lulus dalam ujian kali ini disebabkan dia tidak belajar dengan baik”
3. Akibat – Akibat.
Yaitu dimulai dari suatu sebab yang dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat pertama berubah menjadi sebab yang menimbulkan akibat kedua. Demikianlah seterusnya hingga timbul rangkaian beberapa akibat.
“Ibu mendapatkan jalanan di depan rumah becek, sehingga ibu beranggapan jemuran di rumah basah”
e. Induksi dalam Metode Ekspoisisi
Eksposisi adalah salah satu jenis pengembangan paragraf dalam penulisan yang dimana isinya ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan atau memberikan pengertian dengan gaya penulisan yang singkat, akurat, dan padat. Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau statistik. Sebagai catatan, tidak jarang eksposisi ditemukan hanya berisi uraian tentang langkah/cara/proses kerja. Eksposisi demikian lazim disebut paparan proses.
Langkah menyusun eksposisi:
• Menentukan topik/tema
• Menetapkan tujuan
• Mengumpulkan data dari berbagai sumber
• Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
• Mengembangkan kerangka menjadi karangan eksposisi.

SILOGISME ALTERNATIF

Macam-Macam Silogisme di dalam Penalaran Deduktif:

Di dalam penalaran deduktif terdapat entimen macam silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif dan silogisme entimen.


1. Silogisme Kategorial

Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.

Silogisme kategorial terjadi dari tiga proposisi, yaitu:

Premis umum : Premis Mayor (My)
Premis khusus :Premis Minor (Mn)
Premis simpulan : Premis Kesimpulan (K)
Dalam simpulan terdapat subjek dan predikat. Subjek simpulan disebut term mayor, dan predikat simpulan disebut term minor.

Contoh:
Contoh silogisme Kategorial:

My : Semua mahasiswa adalah lulusan SLTA
Mn : Badu adalah mahasiswa
K : Badu lulusan SLTA

My : Tidak ada manusia yang kekal
Mn : Socrates adalah manusia
K : Socrates tidak kekal

My : Semua mahasiswa memiliki ijazah SLTA.
Mn : Amir tidak memiliki ijazah SLTA
K : Amir bukan mahasiswa

2. Silogisme Hipotesis

Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis.
Konditional hipotesis yaitu, bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.




Contoh :
My : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Mn : Air tidak ada.
K : Jadi, Manusia akan kehausan.


My : Jika tidak ada udara, makhluk hidup akan mati.
Mn : Makhluk hidup itu mati.
K : Makhluk hidup itu tidak mendapat udara.


3. Silogisme Alternatif

Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.

Contoh
My : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Mn : Nenek Sumi berada di Bandung.
K : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.

My : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Mn : Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
K : Jadi, Nenek Sumi berada di Bandung.


4. Silogisme Entimen

Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.

Contoh:
- Dia menerima hadiah pertama karena dia telah menang dalam sayembara itu.
- Anda telah memenangkan sayembara ini, karena itu Anda berhak menerima hadiahnya.

Namun silogisme kategorial dapat dibedakan menjadi dua saja, yaitu silogisme kategorial dan silogisme tersusun. Dimana silogisme tersusun terbagi lagi menjadi tiga kategorial yaitu:
a. Epikherema
Epikherema adalah jabaran dari silogisme kategorial yang diperluas dengan jalan memperluas salah satu premisnya atau keduanya. Cara yang biasa digunakan adalah dengan menambahkan keterangan sebab: penjelasan sebab terjadinya, keterangan waktu, maupun poembuktian keberadaannya.

Contoh:
Semua pahlawan bersifat mulia sebab mereka selalu memperjuangkan hak miliki bersama dengan menomorduakan kepentingan pribadinya. Sultan Mahmud Badaruddin adalah pahlawan. Jadi, Sultan Mahmud Badaruddin itu mulia.



Sumber : http//www.kuroi noshiryuki.com 
Secara ringkas, silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya adalah proposisi hipotesis atau proposisi majemuk, dan premis minornya mengakui atau menolak salah satu bagian dari premi mayor. Perhatikanlah contoh berikut.
Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan turun.
Jadi, jalan basah.

Premis mayor pada argumen di atas adalah “Jika hujan turun, tentu jalan basah” yang merupakan proposisi hipotesis. Proposisi ini terdiri atas dua bagian, yang jika ditelaah ternyata merupakan gabungan dua buah proposisi kategoris, yaitu (1) “hujan turun” dan (2) “jalan basah”, yang digabungkan dengan kata penghubung kondisional “jika”. Premis minornya mengakui bagian pertama. Kesimpulan ditarik dengan jalan membanding-bandingkan bagian-bagian dari premis mayor. Dalam contoh di atas, karena premis mengakui bagian awal, maka kesimpulannya juga harus mengakui bagian kedua.
Jelaslah, ini berbeda dengan silogisme kategoris. Dalam silogisme kategoris, dasarnya ialah proposisi kategoris yang terdiri atas term S dan P yang masing-masing menunjukkan kelas subjek dan kelas predikat. Kesimpulan ditarik dengan jalan membanding-bandingkan keanggotaan kelas S dan P, dengan bantuan kelas M untuk mengetahui apakah anggota kelas M termasuk kelas S dan apakah anggota kelas M termasuk kelas P atau tidak. Karena didasarkan atas perbandingan kelas, silogisme kategoris diebut juga logika kelas (class logic).
Berbeda dengan itu, silogisme hipotesis didasarkan atas bagian-bagian dari proposisi premis mayor yang berupa proposisi kondisional atau majemuk. Seperti terlihat pada contoh di atas, dalam silogisme hipotesis kesimpulan tidak ditarik dengan membandingkan term-term, melainkan dengan membandingkan proposisi-proposisi kategorik yang menjadi komponennya serta hubungan yang terdapat di antara keduanya. Ini mempengaruhi cara penulisan bentuk logis penalaran. Jika pada silogisme kategoris digunakan huruf-huruf S-M-P yang melambangkan kelas-kelas, maka pada silogisme hipotesis digunakan huruf-huruf p dan q yang masing-masing melambangkan posisi elementer (proposisi yang tidak terusun atas proposisi-proposisi lain yang lebih kecil). Demikianlah, premis mayor pada penalaran di atas, “Jika hujan turun, jalan basah” ditulis bentuk logisnya menjadi “Jika p maka q. Jadi proposisi elementer “hujan turun” dilambangkan dengan p, sedangkan “jalan basah” dengan q. Karena yang menentukan bukan kelas, melainkan proposisi, maka silogisme hipotesis disebut juga logika proposional (propotionla logic).
Contoh yang diberikan di atas sebenarnya baru mewakili salah satu dari silogisme hipotesis, yaitu silogime hipotesis kondisional atau sering juga disebut silogisme hipotesis saja. Selain silogisme komdisional, masih ada dua macam lagi, yaitu silogisme hipotesis disjungtif (sering disingkat silogisme dijungtif), dan silogisme hipotesis konjungtif (sering disingkat silogisme konjungtif).

Silogisme Kondisional
Silogisme kondisional  adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi kondisional, yaitu proposisi yang berbentuk “jika...(maka)” dan premis minornya mengakui atau menolak salah satu bagian dari premi mayor terebut. Seperti dikatak di atas, proposisi kondisional terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengandung pengertian sebagai syarat, dan bagian kedua mengandung pengertian sebagai yang-disyaratkan. Secara teknis, bagian pertama disebut antesedens, sedangkan bagian kedua disebut konsekuens. Pada proposisi kondisional “Jika hujan turun, maka jalan basah”, antesedensnya adalah “hujan turun” sedangkan konsekuensnya adalah “jalan basah”. Masing-masing adalah proposisi kategoris yang dihubungkan dengan kata penghubung kondisional “jika” yang menghubungkan kedua proposisi tunggal tersebut menjadi satu proposisi majemuk. Untuk menelaah silogisme kondisional secara mendalam, perhatikan contoh yang diberikan berikut ini.

(1)   Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan turun.
Jadi, jalan basah.
Mari kita tambahkan lagi argumen lain dengan menggunakan premis mayor yang sama namun dengan mengubah premis minornya seperti berikut ini.
(2)   Jika hujan turun, jalan basah.
Jalan tidak basah.
Jadi, hujan tidak turun.
Perhatikanlah premis mayor dari penalaran pada kedua argumen di atas, yaitu proposisi “Jika hujan turun, jalan basah.” Proposisi ini menyatakan bahwa turunnya hujan merupakan kondisi (syarat atau sebab) yang “mengharuskan” basahnya jalan. Jadi, kalau hujan turun, tentu jalan basah; dan jika jalan tidak basah, tentu hujan tidak turun. Dengan demikian, jika kita tahu bahwa memang hujan turun, yakinlah kita bahwa pastilah jalan basah; dan jika kita tahu bahwa jalan tidak basah, yakinlah kita bahwa hujan tidak turun. Dalam rumusan yang abstrak; jika antesedens diakui (benar/terjadi), harus diakui (benar/terjadi) pula konsekuens; dan jika konsekuen ditolak (tidak terjadi), harus ditolak (tidak terjadi) pula antesedens.
Namun perlu diperhatikan, proposisi di atas tidak menyatakan bahwa turunnya hujan adalah satu-satunya syarat/sebab bagi basahnya jalan. Jadi, kalau jalan basah, tidak otomatis berarti bahwa turunnya hujanlah penyebabnya-bisa saja jalan basah oleh karena sebab-sebab yang lain, misalnya ada bendungan yang bobol. Demikian pula, kalau hujan tidak turun, tidak otomatis berarti bahwa jalan tidak basah-karena bisa saja ada sebab lain yang membuat jalan basah. Dengan demikian, walaupun kita memang tahu bahwa jalan basah, kita tidak punya kepastian apakah hujan turun ataukah tidak. Demikian pula, walaupun kita tahu bahwa hujan tidak turun, kita tidak punya kepastian bahwa jalan tidak basah. Dirumuskan secara lebih konsekuens terjadi (diakui), tidak ada kepastian apakah antesedens juga tidak terjadi (tidak diakui); demikikan pula, jika anteseden tidak terjadi (ditolak) tidak ada kepastian apakah konsekuens terjadi (diakui) ataukah tidak.
Penjelasan di atas penting dipahami agar kita tidak keliru mengambil kesimpulan dalam silogisme hipotesis dan sekaligus tidak terkecoh oleh kesimpulan yang keliru. Mari kita teliti, apakah kesimpulan pada kedua argumen di atas sudah benar? Sebelum meneliti kesimpulannya, kita harus meneliti dulu premis minornya. Premsi minor pada argumen (1) mengakui antesedens, yaitu “Hujan turun”. Nah, sesuai dengan pengertian sebab/kondisi di atas, maka kesimpulannya juga harus mengakui konsekuens, yaitu “Jalan basah.”. dengan demikian, kesimpulan dari argumen (1) di atas adalah benar. Jadi, argumen di atas adalah valid/sahih. Pada argumen kedua, premis minornya menolak konsekuen. Argumen (2) juga sahih, karena pada premis minor konsekuens ditolak dan sesuai dengan itu ditolak pula antesedens. Kedua argumen valid ini masing-masing diberi nama modus ponens (cara mengakui) dan modus tollens (cara menolak). Secara skematis, bentuk logis dari silogisme hipotesis yang benar adalah sebagai berikut.
Jika p, maka q.
p.                                 QUOTE    Modus Ponens:
Maka, q.        
dan:
Jika non-q, maka non-p. 
Non-q.                         QUOTE    Modus Tollens:
Maka, non-p.                                                                                                         
Bandingkanlah argumen di atas dengan argumen lain yang mirip, tetapi tidak valid. Agar mudah, kita gunakan premis mayor yang sama dengan argumen di atas, namun dengan premis minor yang berbeda, yaitu:
(3)   Jika hujan turun, jalan basah.
Jalan basah.
Jadi, hujan turun.
Mari kita tambahkan lagi argumen lain dengan menggunakan premis payor yang sama namun dengan mengubah premis minornya seperti berikut ini.
(4)   Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan tidak turun.
Jadi, jalan tidak basah.
Berbeda dengan dua argumen sebelumnya, pada argumen (3) di atas premis minornya tidak mengakui anteseden, melainkan mengakui konsekuens yaitu “jalan basah”. Penalaran ini adalah keliru karena, seperti sudah dikatakan di atas, dengan mengakui konsekuens kita tidak otomatis dapat mengakui anteseden. Demikian pula dengan argumen (4); premis minornya tidak menolak konsekuens, melainkan menolak anteseden, yaitu “hujan tidak turun”. Penalaran ini juga keliru, karena dengan menolak anteseden kita tidak otomatis menolak konsekuens juga. Kedua kekeliruan ini sangat terkenal dan masing-masing diberi nama kesalahan karena mengakui konsekuens (the fallacy of affirming the concequence) dan kesalahan karena menolak antesedens (the fallacy of denying the antecedent). Secara skematis, bentuk logis dari silogisme hipotesis yang benar adalah sebagai berikut.
Jika p maka q.
q.                          QUOTE    The fallacy of affiming the concequence
Maka, p.
dan:
Jika non-q, maka non-p.
Non-p.                  QUOTE    The fallacy of denying the antecedent
Maka, non-q.
             Untuk memahami uraian di atas, perlulah kita mengerti perbedaan antara syarat yang mencukupi (susfficient condition) dan syarat yang niscaya ( necessary condition). Pada proposisi hipotesis “Jika tikus dalam bejana itu hidup (H), tentu masih ada oksigen di dalam bejana itu (O)” (“Jika H, maka O”) menyatakan bahwa H adalah syarat yang mencukupi bagi O. Jadi, jika Anda masih melihat tikus itu masih hidup dan menyepak-nyepak, maka itu sudah cukup bagi Anda untuk menyimpilkan bahwa dalam bejana itu masih ada oksigen. Proposisi “Jika H, maka O” adalah ekuivalen dengan proposisi “O adalah syarat yang niscaya bagi H”
       Kaidah atau hukum silogisme kondisional dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut.
1)      Apabila anteseden diakui pada premis minor, konsekuens harus juga diakui pada kesimpulan. Namun, jika konsekuens diakui pada premis minor maka tidak dapat diambil kesimpulan, dan penalaran menjadi tidak sah.
2)      Apabila konsekuen ditolak pada premis minor, maka anteseden harus juga ditolak pada kesimpulan. Namun, jika anteseden ditolak pada premis minor, tidak dapat diambil kesimpulan dan penalaran menjadi tidak sah.
       Perhatikan bahwa apa yang terkandung dalam konsekuens sudah terkandung dalam anteseden, sehingga konsekuens merupakan implikasi dari anteseden. Oleh karena itu, penghubung (perakit) yang menghubungkan keduanya disebut perakit implikasi. Ada empat jenis implikasi:
1)      Implikasi logis, contoh:
Kalau semua dapat khilaf, Adam pun dapat khilaf.
2)      Implikasi definisional, contoh:
Kalau Hawa seorang janda, maka ia pernah menikah.
(Sesuai dengan definisi janda yang dipakai.)
3)      Implikasi empirik atau kausal, contoh:
Kalau suhu udara turun sampai 0 derajat C, maka air membeku.
4)      Implikasi intensional atau desisional, contoh:
Kalau aku kau tinggalkan, aku akan bunuh diri.
(kata seorang jejaka pada kekasihnya; implikasi ini sesuai dengan niat atau keputusan si jejaka.)
Keempat implikasi di atas memiliki arti yang sama, yaitu: kalau anteseden benar, kongklusi juga benar.

Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi yang berbentuk “Atau...atau”. proposisi disjungtif adalah proposisi yang predikatnya dinyatakan tentang suatu subjek atau subjek yang lain, atau predikat atau predikat lain dinyatakan tentang suatu subjek. Jadi, bentuk logisnya dapat berupa “Apakah A ataukah B adalah C.” Yang lebih kompleks, akan berupa dua proposisi kategoris sebagai alternatifnya. Jadi bentuk logisnya adalah “Apakah A adalah B, ataukah C adalah D.” Proposisi disjungtif mengemukakan adanya dua alternatif (pilihan) kemungkinan, atau disjung. Silogisme disjumgtif mengambil salah satu dari proposisi disjungtif di atas sebagai premis mayornya. Premis minornya menolak salah satu alternatif yang lain. Contoh.

            Kamu atau aku harus pergi.
            Kamu tidak pergi.
            Jadi, aku harus pergi.

            Silogisme ini dapat dikembalikan kepada silogisme kondisional menjadi: “Apabila kamu tidak pergi, sayalah yang pergi.” Kamu tidak pergi. Jadi: Saya harus pergi.
Contoh lain adalah sebagai berikut.
           
            Apakah Tuhan tak adil ataukah tak ada manusia adalah makhluk terkutuk.
            Tuhan tidaklah tak adil.
            Jadi: Tak satu pun manusia makhluk terkutuk.

            Kadang-kadang kedua alternatif dimaksudkan untuk saling menngeksklusifkan. Jadi jika yang satu benar, yang lain salah. Dalam hal ini, silogisme disjungtif yang sahih dapat disusun dengan mengakui salah satu alternatif pada premis minor dan pada kesimpulan menolak alternatif yang lain. Contoh:

            Ataukah Bacon ataukah Shakespeare adalah pengarang Hamlet.
            Shakespeare adalah pengarang Hamlet.
            Jadi, Bacon bukanlah pengarang Hamlet.

            Agar silogisme disjungtif menghasilkan kesimpulan yang benar, ada dua kaidah pokok yang harus diperhatikan. Pertama, premis mayor hendaknya menggunakan bagian-bagian proposisi yang saling mengeksklusifkan, sehingga berkontradiksi atu sama lain. Kalau tidak demikian, ada kemungkinan penalaran menjadi tidak sahih, misalnya:
           
            Ataukah dia itu penyanyi ataukah penari.
            Dia itu penyanyi.
            Jadi, Dia itu bukan penari.

            Premis mayor pada argumen di atas dapat diubah menjadi saling mengeksklusifkan, misalnya:

            Ataukah dia itu penyanyi ataukah bukan penyanyi.

Ada ahli logika yang menginginkan agar premis mayor secara eksplisit mengatakan bahwa “Ataukah A ataukah B, namun bukan keduanya”. Dengan demikian, perbaikan argumen tadi adalah:

            Ataukah dia itu penyanyi ataukah penari, tapi tidak keduanya sekaligus.
            Dia itu penyanyi.
            Jadi: Dia itu penari.

            Yang kedua, untuk menghindari ketidaksahihan, pastikanlah bahwa premis mayor memasukkan semua kemungkinan ke dalam kedua pilihannya. Kalau tidak demikian, ada kemungkinan penalaran menjadi tidak sahih, misalnya:

Ataukah saya bertahan sebagai presiden ataukah Indonesia terkeping oleh disintegrasi.
Saya bertahan sebagai presiden.
Jadi: Indonesia tidak terkeping oleh disintegrasi.
Penalaran pada argumen tersebut jelas keliru, karena bertahannya “saya” sebagai presiden hanyalah salah satu penyebab untuk menghindari kemungkinan terkepingnya integrasi Indonesia; bisa saja “saya” bertahan dan Indonesia tetap terkoyak oleh disintegrasi.
Silogisme Konjungtif
Silogisme konjungtif adalah silogisme yang premis mayornya terdiri atas proposisi konjungtif (bentuk”...dan...). Di sini berlaku peraturan: Akuilah satu bagian pada premis minor, dan tolaklah yang lain pada kesimpulan. Contoh:

     Tak ada orang yang tidur dan membaca pada waktu yang sama.
     Sartono tidur.
     Jadi: Sartono tidak membaca.

Dilemma 
Dilemma merupakan silogisme campuran, yakni premisnya berupa gabungan antara proposisi disjungtif dan hipotesis. Proposisi hipotesis mengajukan alternatif, yang masing-masingnya membawa kepada kesimpulan, yang seringkali tidak menyenangkan. Dilemma dapat dibedakan menjadi dilemma sederhana dan kompleks. Disebut dilema sederhana jika kesimpulan dari kedua alternatif itu sama; dan disebut dilemma kompleks apabila kesimpulan tersebut berbeda. Selain itu, dilema juga dapat bersifat konstruktif atau destruktif. Disebut konstruktif jika anteseden dari proposisi hipotesis diakui pada premis minor dan konsekuensnya juga diakui sebagai kesimpulan. Disebut dilema destruktif jika konsekuensnya ditolak, pada kesimpulan antesedennya juga ditolak. Berikut ini adalah contoh-contoh dilema yang diungkapkan dalam bahasa sehari-hari.
·        Dilemma konstruktif sederhana:
Jika suatu ilmu mengungkapkan fakta yang berharga, maka ilmu tersebut berguna untuk dialami; dan jika penelaahan terhadap ilmu tersebut meningkatkan daya penalaran, maka ia berharga untuk dialami. Nah, suatu ilmu itu dapat memberikan fakta yang berharga, atau dapat juga penelaahannya memberikan peningkatan daya penalaran. Oleh karena itu, ilmu tersebut berharga untuk dialami.
·        Dilemma konstruktif kompleks:
Kalau ada sensor pers, maka penyalahgunaan kekuasaan akan tersembunyi; dan jika tidak ada sensor, maka kebenaran akan dikorbankan demi sensasi. Namun, apakah harus ada sensor atau tidak. Oleh karena itu, apakah penyalahgunaan kekuasaan akan tersembunyi, atau kebenaran akan dikorbankan demi sensasi.
·        Contoh dilemma destruktif
Seandainya orang ini bijaksana, tentu ia tidak akan berbicara tidak sopan tentang Kitab Suci; dan seandainya ia baik, tentu ia tidak akan melakukannya sungguh-sungguh. Namun ia melakukannya apakah secara seloroh ataukah sungguh-sungguh. Oleh karena itu, apakah ia bijaksana ataukah tidak baik

sumber : http://sefyan.blogspot.com/2011/06/silogisme-hipotesis.html