This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 24 Maret 2013


Induksi
adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau
peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum Bahasa
Indonesia, hal 444 W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Metode berpikir
induktif dimana cara berpikir dilakukan dengan cara menarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang kusus dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum. Penalaran
secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum (filsafat
ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Penarikan
kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan
mengenai benyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu
kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya, jika kita ingin mengetahui
berapa penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit di Kabupaten
paser, lantas bagaimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada
kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan wawancara
terhadap seluruh petani kelapa sawit yang ada di Kabupaten Paser.
Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan
kesimpulan mengenai penghasilan rata-rata perbulan petani kelapa sawit
tersebut di Kabupaten Paser, tetapi kegiatan ini tentu saja akan
menghadapkan kita kepada kendala tenaga, biaya, dan waktu.
Untuk
berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah
hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah,
menurut Herbert L. Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996 : 91-92),
diperlukan proses penalaran sebagai berikut :
1. Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus.
Pada
langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.
Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen
dilakukan untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2. Langkah kedua adalah perumusan hipotesis.
Hipotesis
merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih
lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji
kebenarannya, terbuka dan sistematis sesuai dengan dalil-dalil yang
dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta yang dijadikan fokus
kajian.
3. Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi.
Hipotesis
merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan
atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan
fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah
satu langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut
merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi
untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan
satu teori.
4. Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi.
Hasil
akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum
ilmiah. Persoalan yang dihadapi adalah oleh induksi ialah untuk sampai
pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua
hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang
logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi
semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus merupakan suatu
hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Contoh lain dari argument metode beepikir induktif adalah:
1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
5. …
6. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Dari
berbagai peryataan kemudian di tarik kesimpulan secara umun itulah
merupakan metode berpikir secara induktif ( khusus ke umum) jadi dalam
berpikir induktif dari cakupan yang kevil kemudian di jabarkanmenjadi
kesimpulan secara umum.
Bentuk-bentuk Penalaran Induktif
a. Generalisasi
: Proses penalaran yang mengandalkan beberapa pernyataan yang mempunyai
sifat tertentu untuk mendapatkan simpulan yang bersifat umum.
Contoh generalisasi :
1)Jika dipanaskan, besi memuai.
Jika dipanaskan, tembaga memuai.
Jika dipanaskan, emas memuai.
Jika dipanaskan, platina memuai
Jadi, jika dipanaskan, logam memuai.
2)Jika ada udara, manusia akan hidup.
Jika ada udara, hewan akan hidup.
Jika ada udara, tumbuhan akan hidup.
Jadi, jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.
b. Hipotesis dan Teori
Hipotesis à proposisi yg masih perlu diuji
Teori à proposisi yg telah teruji.
Contoh :
Ø Semua kucing yang bermata biru adalah tuli (Darwin dalam ilmu biologi)
Ø Tidak ada hewan yang bertanduk dan berkuku telapak adalah pemakan daging
Ø Anak kecil yang pernah terluka jari-jarinya karena bermain-main dengan pisau akan berhati-hati bila di saat lain dia menggunakan pisau
Ø Ilmu ilmu kealaman semuanya disusun berdasarkan generalisasi tidak sempurna, demikian pula ilmu sosial
c. Analogi : Cara penarikan penalaran dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama.
Contoh analogi
Nina adalah lulusan Akademi Amanah.
Nina dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Ali adalah lulusan Akademi Amanah.
Oleh Sebab itu, Ali dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
d. Hubungan kausal : penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan.
Macam hubungan kausal :
1. Sebab- akibat.
Yaitu
dimulai dengan mengemukakan fakta yang menjadi sebab dan sampai kepada
kesimpulan yang menjadi akibat. Pada pola sebab ke akibat sebagai
gagasan pokok adalah akibat, sedangkan sebab merupakan gagasan penjelas.
“Hujan turun di daerah itu mengakibatkan timbulnya banjir.”
2. Akibat – Sebab.
Yaitu dimulai dengan fakta yang menjadi akibat, kemudian dari fakta itu dianalisis untuk mencari sebabnya.
“Andika tidak lulus dalam ujian kali ini disebabkan dia tidak belajar dengan baik”
3. Akibat – Akibat.
Yaitu
dimulai dari suatu sebab yang dapat menimbulkan serangkaian akibat.
Akibat pertama berubah menjadi sebab yang menimbulkan akibat kedua.
Demikianlah seterusnya hingga timbul rangkaian beberapa akibat.
“Ibu mendapatkan jalanan di depan rumah becek, sehingga ibu beranggapan jemuran di rumah basah”
e. Induksi dalam Metode Ekspoisisi
Eksposisi
adalah salah satu jenis pengembangan paragraf dalam penulisan yang
dimana isinya ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan atau memberikan
pengertian dengan gaya penulisan yang singkat, akurat, dan padat.
Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan
tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk
memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau
statistik. Sebagai catatan, tidak jarang eksposisi ditemukan hanya
berisi uraian tentang langkah/cara/proses kerja. Eksposisi demikian
lazim disebut paparan proses.
Langkah menyusun eksposisi:
• Menentukan topik/tema
• Menetapkan tujuan
• Mengumpulkan data dari berbagai sumber
• Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
• Mengembangkan kerangka menjadi karangan eksposisi.

SILOGISME ALTERNATIF
Di dalam penalaran deduktif terdapat entimen macam silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif dan silogisme entimen.
1. Silogisme Kategorial
Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Silogisme kategorial terjadi dari tiga proposisi, yaitu:
Premis umum : Premis Mayor (My)
Premis khusus :Premis Minor (Mn)
Premis simpulan : Premis Kesimpulan (K)
Dalam simpulan terdapat subjek dan predikat. Subjek simpulan disebut term mayor, dan predikat simpulan disebut term minor.
Contoh:
Contoh silogisme Kategorial:
My : Semua mahasiswa adalah lulusan SLTA
Mn : Badu adalah mahasiswa
K : Badu lulusan SLTA
My : Tidak ada manusia yang kekal
Mn : Socrates adalah manusia
K : Socrates tidak kekal
My : Semua mahasiswa memiliki ijazah SLTA.
Mn : Amir tidak memiliki ijazah SLTA
K : Amir bukan mahasiswa
2. Silogisme Hipotesis
Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis.
Konditional hipotesis yaitu, bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.
Contoh :
My : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Mn : Air tidak ada.
K : Jadi, Manusia akan kehausan.
My : Jika tidak ada udara, makhluk hidup akan mati.
Mn : Makhluk hidup itu mati.
K : Makhluk hidup itu tidak mendapat udara.
3. Silogisme Alternatif
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh
My : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Mn : Nenek Sumi berada di Bandung.
K : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
My : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Mn : Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
K : Jadi, Nenek Sumi berada di Bandung.
4. Silogisme Entimen
Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun lisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan simpulan.
Contoh:
- Dia menerima hadiah pertama karena dia telah menang dalam sayembara itu.
- Anda telah memenangkan sayembara ini, karena itu Anda berhak menerima hadiahnya.
Namun silogisme kategorial dapat dibedakan menjadi dua saja, yaitu silogisme kategorial dan silogisme tersusun. Dimana silogisme tersusun terbagi lagi menjadi tiga kategorial yaitu:
a. Epikherema
Epikherema adalah jabaran dari silogisme kategorial yang diperluas dengan jalan memperluas salah satu premisnya atau keduanya. Cara yang biasa digunakan adalah dengan menambahkan keterangan sebab: penjelasan sebab terjadinya, keterangan waktu, maupun poembuktian keberadaannya.
Contoh:
Semua pahlawan bersifat mulia sebab mereka selalu memperjuangkan hak miliki bersama dengan menomorduakan kepentingan pribadinya. Sultan Mahmud Badaruddin adalah pahlawan. Jadi, Sultan Mahmud Badaruddin itu mulia.
Sumber : http//www.kuroi noshiryuki.com


Secara
ringkas, silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya
adalah proposisi hipotesis atau proposisi majemuk, dan premis minornya
mengakui atau menolak salah satu bagian dari premi mayor. Perhatikanlah
contoh berikut.
Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan turun.
Jadi, jalan basah.
Premis
mayor pada argumen di atas adalah “Jika hujan turun, tentu jalan basah”
yang merupakan proposisi hipotesis. Proposisi ini terdiri atas dua
bagian, yang jika ditelaah ternyata merupakan gabungan dua buah
proposisi kategoris, yaitu (1) “hujan turun” dan (2) “jalan basah”, yang
digabungkan dengan kata penghubung kondisional “jika”. Premis minornya
mengakui bagian pertama. Kesimpulan ditarik dengan jalan
membanding-bandingkan bagian-bagian dari premis mayor. Dalam contoh di
atas, karena premis mengakui bagian awal, maka kesimpulannya juga harus
mengakui bagian kedua.
Jelaslah,
ini berbeda dengan silogisme kategoris. Dalam silogisme kategoris,
dasarnya ialah proposisi kategoris yang terdiri atas term S dan P yang
masing-masing menunjukkan kelas subjek dan kelas predikat. Kesimpulan
ditarik dengan jalan membanding-bandingkan keanggotaan kelas S dan P,
dengan bantuan kelas M untuk mengetahui apakah anggota kelas M termasuk
kelas S dan apakah anggota kelas M termasuk kelas P atau tidak. Karena
didasarkan atas perbandingan kelas, silogisme kategoris diebut juga
logika kelas (class logic).
Berbeda
dengan itu, silogisme hipotesis didasarkan atas bagian-bagian dari
proposisi premis mayor yang berupa proposisi kondisional atau majemuk.
Seperti terlihat pada contoh di atas, dalam silogisme hipotesis
kesimpulan tidak ditarik dengan membandingkan term-term, melainkan
dengan membandingkan proposisi-proposisi kategorik yang menjadi
komponennya serta hubungan yang terdapat di antara keduanya. Ini
mempengaruhi cara penulisan bentuk logis penalaran. Jika pada silogisme
kategoris digunakan huruf-huruf S-M-P yang melambangkan kelas-kelas,
maka pada silogisme hipotesis digunakan huruf-huruf p dan q
yang masing-masing melambangkan posisi elementer (proposisi yang tidak
terusun atas proposisi-proposisi lain yang lebih kecil). Demikianlah,
premis mayor pada penalaran di atas, “Jika hujan turun, jalan basah”
ditulis bentuk logisnya menjadi “Jika p maka q. Jadi proposisi elementer “hujan turun” dilambangkan dengan p, sedangkan “jalan basah” dengan q. Karena yang menentukan bukan kelas, melainkan proposisi, maka silogisme hipotesis disebut juga logika proposional (propotionla logic).
Contoh
yang diberikan di atas sebenarnya baru mewakili salah satu dari
silogisme hipotesis, yaitu silogime hipotesis kondisional atau sering
juga disebut silogisme hipotesis saja. Selain silogisme komdisional,
masih ada dua macam lagi, yaitu silogisme hipotesis disjungtif (sering
disingkat silogisme dijungtif), dan silogisme hipotesis konjungtif
(sering disingkat silogisme konjungtif).
Silogisme Kondisional
Silogisme kondisional adalah
silogisme yang premis mayornya berupa proposisi kondisional, yaitu
proposisi yang berbentuk “jika...(maka)” dan premis minornya mengakui
atau menolak salah satu bagian dari premi mayor terebut. Seperti dikatak
di atas, proposisi kondisional terdiri dari dua bagian. Bagian pertama
mengandung pengertian sebagai syarat, dan bagian kedua mengandung pengertian sebagai yang-disyaratkan. Secara teknis, bagian pertama disebut antesedens, sedangkan bagian kedua disebut konsekuens.
Pada proposisi kondisional “Jika hujan turun, maka jalan basah”,
antesedensnya adalah “hujan turun” sedangkan konsekuensnya adalah “jalan
basah”. Masing-masing adalah proposisi kategoris yang dihubungkan
dengan kata penghubung kondisional “jika” yang menghubungkan kedua
proposisi tunggal tersebut menjadi satu proposisi majemuk. Untuk
menelaah silogisme kondisional secara mendalam, perhatikan contoh yang
diberikan berikut ini.
(1) Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan turun.
Jadi, jalan basah.
Mari
kita tambahkan lagi argumen lain dengan menggunakan premis mayor yang
sama namun dengan mengubah premis minornya seperti berikut ini.
(2) Jika hujan turun, jalan basah.
Jalan tidak basah.
Jadi, hujan tidak turun.
Perhatikanlah
premis mayor dari penalaran pada kedua argumen di atas, yaitu proposisi
“Jika hujan turun, jalan basah.” Proposisi ini menyatakan bahwa
turunnya hujan merupakan kondisi (syarat atau sebab) yang “mengharuskan”
basahnya jalan. Jadi, kalau hujan turun, tentu jalan basah; dan jika
jalan tidak basah, tentu hujan tidak turun. Dengan demikian, jika kita
tahu bahwa memang hujan turun, yakinlah kita bahwa pastilah jalan basah;
dan jika kita tahu bahwa jalan tidak basah, yakinlah kita bahwa hujan
tidak turun. Dalam rumusan yang abstrak; jika antesedens diakui
(benar/terjadi), harus diakui (benar/terjadi) pula konsekuens; dan jika
konsekuen ditolak (tidak terjadi), harus ditolak (tidak terjadi) pula
antesedens.
Namun
perlu diperhatikan, proposisi di atas tidak menyatakan bahwa turunnya
hujan adalah satu-satunya syarat/sebab bagi basahnya jalan. Jadi, kalau
jalan basah, tidak otomatis berarti bahwa turunnya hujanlah
penyebabnya-bisa saja jalan basah oleh karena sebab-sebab yang lain,
misalnya ada bendungan yang bobol. Demikian pula, kalau hujan tidak
turun, tidak otomatis berarti bahwa jalan tidak basah-karena bisa saja
ada sebab lain yang membuat jalan basah. Dengan demikian, walaupun kita
memang tahu bahwa jalan basah, kita tidak punya kepastian apakah hujan
turun ataukah tidak. Demikian pula, walaupun kita tahu bahwa hujan tidak
turun, kita tidak punya kepastian bahwa jalan tidak basah. Dirumuskan
secara lebih konsekuens terjadi (diakui), tidak ada kepastian apakah
antesedens juga tidak terjadi (tidak diakui); demikikan pula, jika
anteseden tidak terjadi (ditolak) tidak ada kepastian apakah konsekuens
terjadi (diakui) ataukah tidak.
Penjelasan
di atas penting dipahami agar kita tidak keliru mengambil kesimpulan
dalam silogisme hipotesis dan sekaligus tidak terkecoh oleh kesimpulan
yang keliru. Mari kita teliti, apakah kesimpulan pada kedua argumen di
atas sudah benar? Sebelum meneliti kesimpulannya, kita harus meneliti
dulu premis minornya. Premsi minor pada argumen (1) mengakui antesedens,
yaitu “Hujan turun”. Nah, sesuai dengan pengertian sebab/kondisi di
atas, maka kesimpulannya juga harus mengakui konsekuens, yaitu “Jalan
basah.”. dengan demikian, kesimpulan dari argumen (1) di atas adalah
benar. Jadi, argumen di atas adalah valid/sahih. Pada argumen kedua,
premis minornya menolak konsekuen. Argumen (2) juga sahih, karena pada
premis minor konsekuens ditolak dan sesuai dengan itu ditolak pula
antesedens. Kedua argumen valid ini masing-masing diberi nama modus ponens (cara mengakui) dan modus tollens (cara menolak). Secara skematis, bentuk logis dari silogisme hipotesis yang benar adalah sebagai berikut.
Jika p, maka q.
p. QUOTE
Modus Ponens:


Maka, q.
dan:
Jika non-q, maka non-p.
Non-q. QUOTE
Modus Tollens:


Maka, non-p.
Bandingkanlah
argumen di atas dengan argumen lain yang mirip, tetapi tidak valid.
Agar mudah, kita gunakan premis mayor yang sama dengan argumen di atas,
namun dengan premis minor yang berbeda, yaitu:
(3) Jika hujan turun, jalan basah.
Jalan basah.
Jadi, hujan turun.
Mari
kita tambahkan lagi argumen lain dengan menggunakan premis payor yang
sama namun dengan mengubah premis minornya seperti berikut ini.
(4) Jika hujan turun, jalan basah.
Hujan tidak turun.
Jadi, jalan tidak basah.
Berbeda
dengan dua argumen sebelumnya, pada argumen (3) di atas premis minornya
tidak mengakui anteseden, melainkan mengakui konsekuens yaitu “jalan
basah”. Penalaran ini adalah keliru karena, seperti sudah dikatakan di
atas, dengan mengakui konsekuens kita tidak otomatis dapat mengakui
anteseden. Demikian pula dengan argumen (4); premis minornya tidak
menolak konsekuens, melainkan menolak anteseden, yaitu “hujan tidak
turun”. Penalaran ini juga keliru, karena dengan menolak anteseden kita
tidak otomatis menolak konsekuens juga. Kedua kekeliruan ini sangat
terkenal dan masing-masing diberi nama kesalahan karena mengakui konsekuens (the fallacy of affirming the concequence) dan kesalahan karena menolak antesedens (the fallacy of denying the antecedent). Secara skematis, bentuk logis dari silogisme hipotesis yang benar adalah sebagai berikut.
Jika p maka q.
q. QUOTE
The fallacy of affiming the concequence


Maka, p.
dan:
Jika non-q, maka non-p.
Non-p. QUOTE
The fallacy of denying the antecedent


Maka, non-q.
Untuk memahami uraian di atas, perlulah kita mengerti perbedaan antara syarat yang mencukupi (susfficient condition) dan syarat yang niscaya ( necessary condition).
Pada proposisi hipotesis “Jika tikus dalam bejana itu hidup (H), tentu
masih ada oksigen di dalam bejana itu (O)” (“Jika H, maka O”) menyatakan
bahwa H adalah syarat yang mencukupi bagi O. Jadi, jika Anda masih
melihat tikus itu masih hidup dan menyepak-nyepak, maka itu sudah cukup
bagi Anda untuk menyimpilkan bahwa dalam bejana itu masih ada oksigen.
Proposisi “Jika H, maka O” adalah ekuivalen dengan proposisi “O adalah
syarat yang niscaya bagi H”
Kaidah atau hukum silogisme kondisional dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut.
1) Apabila
anteseden diakui pada premis minor, konsekuens harus juga diakui pada
kesimpulan. Namun, jika konsekuens diakui pada premis minor maka tidak
dapat diambil kesimpulan, dan penalaran menjadi tidak sah.
2) Apabila
konsekuen ditolak pada premis minor, maka anteseden harus juga ditolak
pada kesimpulan. Namun, jika anteseden ditolak pada premis minor, tidak
dapat diambil kesimpulan dan penalaran menjadi tidak sah.
Perhatikan
bahwa apa yang terkandung dalam konsekuens sudah terkandung dalam
anteseden, sehingga konsekuens merupakan implikasi dari anteseden. Oleh
karena itu, penghubung (perakit) yang menghubungkan keduanya disebut
perakit implikasi. Ada empat jenis implikasi:
1) Implikasi logis, contoh:
Kalau semua dapat khilaf, Adam pun dapat khilaf.
2) Implikasi definisional, contoh:
Kalau Hawa seorang janda, maka ia pernah menikah.
(Sesuai dengan definisi janda yang dipakai.)
3) Implikasi empirik atau kausal, contoh:
Kalau suhu udara turun sampai 0 derajat C, maka air membeku.
4) Implikasi intensional atau desisional, contoh:
Kalau aku kau tinggalkan, aku akan bunuh diri.
(kata seorang jejaka pada kekasihnya; implikasi ini sesuai dengan niat atau keputusan si jejaka.)
Keempat implikasi di atas memiliki arti yang sama, yaitu: kalau anteseden benar, kongklusi juga benar.
Silogisme Disjungtif
Silogisme
disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi yang
berbentuk “Atau...atau”. proposisi disjungtif adalah proposisi yang
predikatnya dinyatakan tentang suatu subjek atau subjek yang lain, atau
predikat atau predikat lain dinyatakan tentang suatu subjek. Jadi,
bentuk logisnya dapat berupa “Apakah A ataukah B adalah C.” Yang lebih
kompleks, akan berupa dua proposisi kategoris sebagai alternatifnya.
Jadi bentuk logisnya adalah “Apakah A adalah B, ataukah C adalah D.”
Proposisi disjungtif mengemukakan adanya dua alternatif (pilihan)
kemungkinan, atau disjung. Silogisme disjumgtif mengambil salah satu
dari proposisi disjungtif di atas sebagai premis mayornya. Premis
minornya menolak salah satu alternatif yang lain. Contoh.
Kamu atau aku harus pergi.
Kamu tidak pergi.
Jadi, aku harus pergi.
Silogisme
ini dapat dikembalikan kepada silogisme kondisional menjadi: “Apabila
kamu tidak pergi, sayalah yang pergi.” Kamu tidak pergi. Jadi: Saya
harus pergi.
Contoh lain adalah sebagai berikut.
Apakah Tuhan tak adil ataukah tak ada manusia adalah makhluk terkutuk.
Tuhan tidaklah tak adil.
Jadi: Tak satu pun manusia makhluk terkutuk.
Kadang-kadang
kedua alternatif dimaksudkan untuk saling menngeksklusifkan. Jadi jika
yang satu benar, yang lain salah. Dalam hal ini, silogisme disjungtif
yang sahih dapat disusun dengan mengakui salah satu alternatif pada
premis minor dan pada kesimpulan menolak alternatif yang lain. Contoh:
Ataukah Bacon ataukah Shakespeare adalah pengarang Hamlet.
Shakespeare adalah pengarang Hamlet.
Jadi, Bacon bukanlah pengarang Hamlet.
Agar
silogisme disjungtif menghasilkan kesimpulan yang benar, ada dua kaidah
pokok yang harus diperhatikan. Pertama, premis mayor hendaknya
menggunakan bagian-bagian proposisi yang saling mengeksklusifkan,
sehingga berkontradiksi atu sama lain. Kalau tidak demikian, ada
kemungkinan penalaran menjadi tidak sahih, misalnya:
Ataukah dia itu penyanyi ataukah penari.
Dia itu penyanyi.
Jadi, Dia itu bukan penari.
Premis mayor pada argumen di atas dapat diubah menjadi saling mengeksklusifkan, misalnya:
Ataukah dia itu penyanyi ataukah bukan penyanyi.
Ada
ahli logika yang menginginkan agar premis mayor secara eksplisit
mengatakan bahwa “Ataukah A ataukah B, namun bukan keduanya”. Dengan
demikian, perbaikan argumen tadi adalah:
Ataukah dia itu penyanyi ataukah penari, tapi tidak keduanya sekaligus.
Dia itu penyanyi.
Jadi: Dia itu penari.
Yang
kedua, untuk menghindari ketidaksahihan, pastikanlah bahwa premis mayor
memasukkan semua kemungkinan ke dalam kedua pilihannya. Kalau tidak
demikian, ada kemungkinan penalaran menjadi tidak sahih, misalnya:
Ataukah saya bertahan sebagai presiden ataukah Indonesia terkeping oleh disintegrasi.
Saya bertahan sebagai presiden.
Jadi: Indonesia tidak terkeping oleh disintegrasi.
Penalaran
pada argumen tersebut jelas keliru, karena bertahannya “saya” sebagai
presiden hanyalah salah satu penyebab untuk menghindari kemungkinan
terkepingnya integrasi Indonesia; bisa saja “saya” bertahan dan
Indonesia tetap terkoyak oleh disintegrasi.
Silogisme Konjungtif
Silogisme
konjungtif adalah silogisme yang premis mayornya terdiri atas proposisi
konjungtif (bentuk”...dan...). Di sini berlaku peraturan: Akuilah satu
bagian pada premis minor, dan tolaklah yang lain pada kesimpulan.
Contoh:
Tak ada orang yang tidur dan membaca pada waktu yang sama.
Sartono tidur.
Jadi: Sartono tidak membaca.
Dilemma
Dilemma
merupakan silogisme campuran, yakni premisnya berupa gabungan antara
proposisi disjungtif dan hipotesis. Proposisi hipotesis mengajukan
alternatif, yang masing-masingnya membawa kepada kesimpulan, yang
seringkali tidak menyenangkan. Dilemma dapat dibedakan menjadi dilemma
sederhana dan kompleks. Disebut dilema sederhana jika kesimpulan dari
kedua alternatif itu sama; dan disebut dilemma kompleks apabila
kesimpulan tersebut berbeda. Selain itu, dilema juga dapat bersifat
konstruktif atau destruktif. Disebut konstruktif jika anteseden dari
proposisi hipotesis diakui pada premis minor dan konsekuensnya juga
diakui sebagai kesimpulan. Disebut dilema destruktif jika konsekuensnya
ditolak, pada kesimpulan antesedennya juga ditolak. Berikut ini adalah
contoh-contoh dilema yang diungkapkan dalam bahasa sehari-hari.
· Dilemma konstruktif sederhana:
Jika
suatu ilmu mengungkapkan fakta yang berharga, maka ilmu tersebut
berguna untuk dialami; dan jika penelaahan terhadap ilmu tersebut
meningkatkan daya penalaran, maka ia berharga untuk dialami. Nah, suatu
ilmu itu dapat memberikan fakta yang berharga, atau dapat juga
penelaahannya memberikan peningkatan daya penalaran. Oleh karena itu,
ilmu tersebut berharga untuk dialami.
· Dilemma konstruktif kompleks:
Kalau
ada sensor pers, maka penyalahgunaan kekuasaan akan tersembunyi; dan
jika tidak ada sensor, maka kebenaran akan dikorbankan demi sensasi.
Namun, apakah harus ada sensor atau tidak. Oleh karena itu, apakah
penyalahgunaan kekuasaan akan tersembunyi, atau kebenaran akan
dikorbankan demi sensasi.
· Contoh dilemma destruktif
Seandainya
orang ini bijaksana, tentu ia tidak akan berbicara tidak sopan tentang
Kitab Suci; dan seandainya ia baik, tentu ia tidak akan melakukannya
sungguh-sungguh. Namun ia melakukannya apakah secara seloroh ataukah
sungguh-sungguh. Oleh karena itu, apakah ia bijaksana ataukah tidak baiksumber : http://sefyan.blogspot.com/2011/06/silogisme-hipotesis.html
Langganan:
Postingan (Atom)